Dirintis sejak 1880, Cap Meong menjadi pelopor usaha produk tauco di Cianjur, Jawa Barat. Kelezatan dan rasa khas tauconya menjadi rahasia umum bagi masyarakat Cianjur. Tak ayal, jika Anda bertanya di mana bisa beli tauco yang enak kepada penduduk setempat, sebagian besar bakal menyebut nama Meong.
Asal-usul “Meong”
Berdiri di Jalan HOS Cokroaminoto No 160, Cianjur, Jawa Barat, sebuah papan nama cukup besar bertuliskan “Tauco No. 1 buatan Nyonya Tasma, Cap Meong” nangkring di bagian atas bangunan. Bentuk bangunannya sederhana, khas rumah toko (ruko) milik orang Tionghoa tempo dulu.
Di dalam, tiga buah meja, dua lemari kayu besar berisi botol-botol kosong, serta sebuah alat presstutup botol mengisi ruangan. “Kalau di sini, di Cokroaminoto, hanya untuk memasak adonan tauco yang telah selesai proses fermentasi lalu menjualnya. Kalau produksi dari awalnya di pabrik, letaknya di Gang Pelita”, kata Ekawati, pegawai toko tauco Cap Meong yang masih berhubungan darah dengan pemilik toko.
Meski bangunan ruko itu cukup luas, ruangan yang digunakan untuk berdagang tidaklah terlalu lebar, hanya sekira 4x5 meter. Memasuki ruangan, aroma tauco segera menyergap indera penciuman. Aroma khas yang sudah melekat puluhan tahun.
Dari awal berdiri ya tempat jualannya di situ, di HOS Cokroaminoto 160,” kata Harun Tasma, 74 tahun, pimpinan di Cap Meong.
Di Cianjur, usaha tauco dipelopori Tan Kei Hian, atau biasa dipanggil Babah Tasma. Panggilan tersebut muncul karena ia orang pertama yang memakai kacamata di daerah tempat tinggalnya. “Kacamata kan bahasa Sundanya, tasma. Karena dia yang pertamakali pakai, dan selalu dipakai sehari-harinya, makanya dipanggil Babah Tasma.
Seperti kisah kebanyakan perintis usaha kecil tradisional, Babah Tasma memulai usaha tauconya dari industri rumahan. Saat tauco buatannya mulai digemari, pada 1880-an barulah dia serius menekuni usaha tauco.
Di awal usaha, selain Babah Tasma, usaha tauco juga digeluti sang istri, Ny Tasma. Uniknya, suami-istri ini membuat tauco dengan rasa berbeda. Kalau Babah Tasma rasa tauconya cenderung manis, Ny Tasma lebih menyerap selera lokal, menyuguhkan rasa asin, Saat mereka bercerai, Babah Tasma kemudian mendirikan tauco Cap Gedong, sedang Nyonya Tasma melanjutkan usaha dengan merek Cap Meong.
Dalam perkembangannya ternyata masyarakat lebih menggemari tauco buatan Ny Tasma. Karena kurang laku, Cap Gedong akhirnya gulung tikar. Yang bertahan hingga saat ini ya Cap Meong. Merek Meong sudah digunakan sekira1889-an.
Cerita yang berkembang seputar penggunaan nama “Meong” ini cukup menarik. Konon ditemukannya tapak kaki meong (Macan) di dapur, yang diyakini sebagai peliharaan Eyang Suryakencana, leluhur di Cianjur, menjadi sumber inspirasi.
Dari Ny Tasma, usaha tauco Cap Meong kemudian menurun kepada anak perempuannya, Tan Bei Nio atau Betsi Tasma. Dia mulai memegang kendali usaha sejak 1935. “Betsi Tasma menikah dua kali, dari suami pertama punya anak seorang perempuan, namanya Wiri Jati Tasma.
Pada 1985, karena Betsi Tasma sakit-sakitan, kepemimpinan di Meong pun lengser kepada anak perempuan tertuanya Wiri Jati Tasma. “Wiri Jati sebenarnya seorang guru baptis di Jakarta. Pada 1985 dia akan memasuki masa pensiun. Tapi karena ibunya sakit-sakitan, sebelum masuk pensiun dia lebih dulu keluar untuk mengurus usaha tauco.
Meski berlatar belakang guru, Wiri Jati lumayan sukses mengibarkan bendera usaha Cap Meong. Setidaknya untuk sekadar terus bertahan, walau saat itu kondisinya sudah tidak terlalu menguntungkan. Munculnya merek-merek baru membuat persaingan semakin ketat. Harga bahan baku pun relatif tidak stabil. Apalagi seiring beroperasinya jalan tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang), diresmikan April 2005, bisnis tauco di Cianjur mulai meredup. “Sekarang yang tersisa paling Biruang, Badak, Harimau, dan Meong.
Menurut Harun Tasma, pada 1930-1960 potensi jual produk tauco Cap Meong masih cukup bagus. Apalagi saat itu belum banyak pesaing. “Wah, kalau lagi bulan puasa itu dulu sampai ngantri. Maklum, tauco kan bisa jadi lauk enak yang harganya murah.
Menjaga Mutu
Areal pabrik di Gang Pelita itu cukup luas. Di dalamnya berdiri sebuah bangunan tua berbentuk huruf “L”. Di sisi kanan bangunan, potongan-potongan kayu menumpuk. Sebuah kuali besar bersandar di atas tungku kayu. Di bagian tengah, botol-botol tauco kosong yang telah dicuci dan berbagai peralatan kerja memadati bangunan.
Di halaman pabrik terdapat hamparan kedelai yang sedang dijemur serta deretan guci berisi kedelai yang bagian atasnya ditutup seng. Di dalam guci itu, kedelai sedang dalam proses fermentasi.
“Proses awal, kedelai dijemur selama 3-4 hari, digiling kasar lalu dicuci, habis itu dimasak selama enam jam. Selesai masak dijemur sampai ¾ kering, diperam selama tiga hari samapai keluar jamur. Proses selanjutnya direndam di air garam sampai kering, sekira 10 hari. Setelah kering ditaruh di bak-bak khusus selama dua bulan, menunggu sampai ‘madu’-nya keluar. Lama proses itu, berdasarkan perhitungan bila cuaca normal, kalau hujan, proses pengerjaan tambah larut.
Tauco made in Cianjur cukup dikenal di mana-mana. Bahkan selain dikenal sebagai kota penghasil beras, Cianjur juga lekat dikenal dengan daerah pembuat tauco. Sebagai bumbu masak yang terbuat dari kedelai yang difermentasi, tauco memang bisa memperlezat aneka masakan.
Di Nusantara, referensi pertama mengenai tauco, seperti ditulis William Shurtleff and Akiko Aoyagi dalam History of Miso and Soybean Chiang, dapat dirunut dari tulisan seorang ilmuwan Belanda, Prinsen Geerligs, pada 1895-1896. Geerligs menyebutnya tao tsioedalam artikel Belanda pada 1895 dan tao tjiungdalam artikel Jermannya pada 1896.
Dalam tulisannya, William Shurtleff and Akiko Aoyagi juga mengatakan kalau tauco masih berhubungan dengan jiang, bumbu masak asal Tiongkok. Diperkirakan berasal sebelum Dinasti Chou (722-481 SM), jiang diklaim sebagai bumbu tertua yang diketahui manusia. Awalnya dikembangkan sebagai cara melestarikan makanan kaya protein hewani untuk digunakan sebagai bumbu. Dari situ, bangsa-bangsa Asia Timur juga menemukan bahwa ketika seafoodsdan daging ( kemudian kedelai) yang asin atau direndam dalam campuran garam dan anggur beras (atau air,) protein mereka dipecah oleh enzim menjadi asam amino, yang pada gilirannya dapat merangsang selera makan manusia, serta dapat digunakan sebagai penambah rasa makanan lain.
Jika di Indonesia jiang berkembang menjadi tauco, di Jepang varian jiang berkembang menjadi miso. Miso adalah bahan makanan asal Jepang yang dibuat dari fermentasi rebusan kedelai, beras, atau campuran keduanya dengan garam. Miso digunakan sebagai bumbu masak untuk berbagai jenis makanan Jepang.
Di Nusantara, tauco diperkenalkan oleh para pendatang asal Tiongkok. Salah satunya Tan Ken Yan, yang mempeloporinya di daerah Cianjur. Tauco Cap Meong, demi menjaga mutu, sampai saat ini tetap mempertahankan proses pembuatan tauco dari leluhurnya. Bahkan, peralatan yang dipakai pun tak ada yang diganti. Misalnya, guci atau gentong. Banyak guci dan gentong yang usianya lebih tua daripada usia pegawainya
Demikian pula dengan proses memasak, dari dulu hingga sekarang masih mengunakan kayu bakar. Sebelumnya, sempat dicoba menggunakan kompor semawar, tetapi hasilnya tidak bagus.”Pernah coba pakai kompor, tapi aroma khasnya tidak keluar. Lagi pula kalau adonan kena minyak tanah sedikit saja, rusak semua .
historia
0 komentar:
Post a Comment