Lahir pada 1927, Maridjan menjalani kehidupan dari awal sampai akhir hayatnya hanya di Kinahrejo. Ia sudah menjalani peran sebagai penjaga Merapi, melanjutkan jejak ayahnya yang sudah lebih dulu menjadi juru kunci salah satu gunung api paling aktif di dunia itu. Pada 1970, saat ayahnya masih hidup, Maridjan sudah diangkat sebagai abdi dalem Kraton Yogyakarta untuk menyertai tugas sang ayah.
Sultan Hamengkubuwana (HB) IX pun berkenan memberinya gelar sekaligus nama baru, yakni Mas Penewu Surakso Hargo, dengan pangkat sebagai Mantri Juru Kunci alias wakil atau asisten ayahnya.
Riwayat Erupsi Merapi
Sebagai juru kunci Merapi, Mbah Maridjan mengerti betul polah-tingkah gunung yang dikeramatkannya itu. Letusan-letusan kecil terjadi saban 2 atau 4 tahun. Erupsi yang sedikit lebih besar biasanya berkurun waktu antara 10 sampai 15 tahun. Sedangkan ancaman yang benar-benar harus diwaspadai memang belum bisa dipastikan siklusnya, tapi yang jelas lebih memakan waktu lama.
Riwayat erupsi Merapi terbukti mengubah jalan sejarah. Letusan di abad ke-10, misalnya, disebut-sebut telah membuat Kerajaan Mataram Kuno (Medang) terpaksa pindah dari tengah Jawa ke bagian timur (Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, 2005:84). Kerajaan Hindu inilah yang nantinya menjadi cikal-bakal Majapahit, Demak, Mataram Islam, hingga Kesultanan Yogyakarta.
Kemudian, letusan yang terjadi pada 1006 membuat seluruh permukaan Jawa Tengah tertutup oleh abu vulkanik. Erupsi inilah yang juga mengubur Candi Borobudur dan Prambanan.
Merapi rutin beraksi dalam perjalanan riwayatnya, termasuk erupsi pada 1786, 1822, 1872, dan 1930 yang menghancurkan tiga belas desa dan memakan korban tewas 1.400 jiwa. Namun, letusan terbesar terjadi pada 1872 yang menurut catatan geologi modern mencapai skala tinggi. Sepanjang tanggal 15 hingga 20 April 1872 itu, letusan berlangsung selama 120 jam nyaris tanpa henti.
Dan, letusan tahun 2010, yang menewaskan Mbah Maridjan, juga tercatat dalam level yang hampir sama.
Selama menjalani peran sebagai juru kunci sejak 1982, Mbah Maridjan memang mengalami masa-masa di mana tensi Merapi sedang meninggi. Erupsi pada November 1994, misalnya, beberapa desa di lereng gunung itu terkena imbas awan panas atau wedhus gembel dalam bahasa lokalnya, 60 orang meninggal dunia.
Empat tahun kemudian, Juli 1998, erupsi kembali terjadi namun semburannya mengarah ke atas sehingga nihil korban jiwa. Pada 2006, dua orang sukarelawan terbakar awan panas di kawasan Kaliadem. Dan akhirnya terjadilah erupsi dahsyat pada 2010 yang menelan korban dan kerugian cukup besar.
Merawat Merapi Sepenuh Hati
Mbah Maridjan selalu enggan jika diminta mengungsi manakala ada tanda-tanda Merapi bakal menguap lagi. Bahkan, ia pernah dua kali menolak permintaan Sultan HB X, Raja Yogyakarta sekaligus Gubernur DIY yang seharusnya menjadi junjungannya.
Penolakan pertama adalah pada 2006. Sultan HB X memerintahkan penduduk Kinahrejo untuk bersedia dievakuasi ke tempat yang aman. Namun, Mbah Maridjan mengabaikannya dan malah menyepi di pelataran Srimanganti yang berada di lereng selatan Merapi. Ia selamat, tak kurang satu apapun juga.
Mbah Maridjan bukannya tidak menghormati Sultan HB X. Namun, status sultan yang juga menjabat sebagai gubernur membuat Mbah Maridjan merasa bahwa imbauan mengungsi itu sama halnya dengan perintah pejabat pemerintahan lainnya, bukan titah seorang raja.
Berkali-kali, Mbah Maridjan menegaskan bahwa ia hanya berpegang teguh pada amanat yang diberikan oleh Sultan HB IX, ayahanda HB X, ketika ia diangkat sebagai abdi kerajaan yang ditugaskan untuk menjaga Gunung Merapi, pemula garis imajiner menuju pusat istana sampai ke laut selatan. Tidak pernah ada perintah mengungsi selama Sultan HB IX bertakhta.
Mbah Maridjan lagi-lagi menampik permintaan Sultan HB X ketika Merapi menggeliat pada 2010. Ia percaya kasih-sayangnya akan dibalas setimpal, bahwa gunung yang dijaganya dengan segenap jiwa itu tidak bakal menyebabkan hal-hal buruk terhadapnya.
Pengalaman bahwa Kinahrejo selalu terhindar dar marahabaya setiap kali Merapi meletus menjadi pegangan yang paling sahih bagi Mbah Maridjan. Kendati begitu, Mbah Maridjan tetap menyerahkan hidup dan matinya kepada Yang Maha Kuasa jika memang harus berkorban demi tanggungjawabnya sebagai juru kunci.
Namun, pada 2010 itu, tingkah Merapi memang tidak lazim, lain dengan pola erupsi yang terjadi sebelum-sebelumnya. Aktivitas semburan lava dan awan panasnya tidak seperti biasanya yang selalu membentuk kubah lava baru di sisi selatan dan berfungsi sebagai pelindung.
Kali ini, Merapi menyemburkan lava serta awan panas ke berbagai arah, disertai letusan yang berlangsung terus-menerus. Suara gemuruh terdengar sampai Kota Yogyakarta, juga hingga Wonosobo yang berjarak lebih dari 50 kilometer. Hujan abu dirasakan oleh masyarakat Cilacap, Tasikmalaya, Bandung, bahkan Bogor.
Dan, tanggal 26 Oktober 2010, erupsi Merapi mencapai puncaknya. Mbah Maridjan tetap teguh pendirian, berdiam diri di dalam rumahnya, hingga akhirnya ditemukan tak bernyawa dalam posisi bersujud. Sang juru kunci rupanya sudah sangat siap dengan apapun yang bakal terjadi.
Erupsi Merapi 2010 tercatat salah satu yang paling dahsyat. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan 341 orang tewas, 368 orang harus mendapatkan perawatan di rumah sakit, dan 61.154 orang dievakuasi. Adapun kerugian materi mencapai Rp 4,23 triliun, termasuk 3.307 bangunan yang mengalami kerusakan.
Jika gajah mati meninggalkan gading atau harimau mati meninggalkan belang, maka Mbah Maridjan mati meninggalkan Merapi, gunung paling berapi yang masih lekat dengan pengabdiannya sampai nanti.
tirto.id
0 komentar:
Post a Comment