Sosiolog Harsya W. Bachtiar menyebutkan, golongan yang dahulu dinamakan priyayi sekarang muncul dalam bentuk korps pegawai negeri sipil. Persamaannya, cara bekerjanya tidak diarahkan pada prestasi profesional tetapi untuk naik pangkat.
Meskipun gajinya yang resmi relatif kecil, para warga yang tingkat tinggi di dalam korps ini berusaha dengan segala cara untuk memiliki dan memamerkan simbol-simbol status sosial mereka. Orang Jawa mengatakan seperti priyayi dahulu garing nanging garang (biar kering tetapi bergengsi),” Harsya dalam dalam karyanya Menuju Indonesia yang Demokratis, Adil & Pluralis.
Menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong, gaya hidup mewah kaum priyayi membuat pemerintah kolonial harus mengontrol mereka. Soalnya, “setiap pemerintah khawatir bila pejabatnya hidup mewah di luar kemampuan mereka dan tidak loyal.”
Priyayi berasal dari kata para yayi (para adik), maksudnya adik raja dalam arti abstrak. “Kata ini diterangkan oleh masyarakat Jawa melalui jarwa dhosok, etimologi yang timbul di masyarakat luas. Faktual atau tidaknya keterangan etimologi itu sukar dibuktikan, sebab kata priyayi tidak didapati pada teks-teks yang lebih tua dari abad 19 seperti yang ditulis Sartono Kartodirjo dkk., dalam Perkembangan Peradaban Priyayi.
Betapapun memiliki kekuasaan absolut, seorang raja tidak dapat memerintah sendiri dan bergantung pada kaum priyayi. Karena itu, Ong mengartikan priyayi sebagai sekelompok kecil orang yang diberi jabatan atau mendapat mandat dari raja untuk membantu memerintah rakyat. Kelompok kecil ini diangkat karena jasanya dalam perebutan kekuasaan, hubungan darah, favoritisme, atau keturunan. Kendati demikian, seorang keturunan priyayi bila tidak memiliki jabatan bukanlah priyayi. Sebaliknya, anak petani atau lurah yang mendapat jabatan kecil, tergolong priyayi.
Priyayi dalam pendek kata adalah alat raja dan bukan anggota birokrasi dalam pengertian sekarang. Tugas mereka kebanyakan hanyalah mengumpulkan pajak, tenaga kerja, dan lain-lain demi kepentingan kerajaan. Fungsi priyayi dalam masyarakat tidak ada sehingga priyayi lebih tepat disebut elite penguasa daripada birokrasi.
Adalah Herman Willem Daendels, gubernur jenderal Hindia Belanda (1808-1811), yang melahirkan konsep negara modern pertama di Indonesia dengan birokrasi yang rasional. Daendels dikenal sebagai “Marsekal Guntur” karena sikapnya yang tegas dan radikal terhadap penyelewengan. Aparatur pemerintah Hindia Belanda, yang kelak disebut Binnenlandsche Bestuur (BB), sering disebut sebagai contoh klasik dari birokrasi modern. Korps pegawai kolonial ini sebagian besar adalah orang-orang Belanda yang berpendidikan tinggi.
Selain BB, pemerintah Hindia Belanda menerapkan dual system dengan mempertahankan kaum priyayi atau pangreh praja (mereka yang memerintah negara) atau Inlansche Bestuur (penguasa bumiputera). Sehingga, sering disebut pemerintahan kolonial tidak langsung. Kaum priyayi dibutuhkan pemerintah kolonial demi menggenjot hasil agraria ekspor seperti gula, kopi, dan teh.
Kaum priyayi tidak terganggu kedudukannya di masa pendudukan Jepang, malahan digunakan. Ketika Indonesia merdeka, mereka juga menjadi unsur penting dalam negara baru. Sebab, selain berpendidikan modern atau Barat, mereka mempunyai pengalaman memerintah sejak lama.
Pegawai negeri Indonesia kini, yang terkenal dengan Korpri, biarpun dari sudut kebangsaan berasal dari pangreh praja atau Inlandsche Bestuur, namun sebagai lembaga dari BB.
Yang mengherankan, BB ini berasal dari aparatur VOC yang korup tetapi dapat ditransformasi menjadi sesuatu yang modern dan tidak korup. Selain itu BB dikenal cukup efisien dan jujur. Hal ini karena beberapa hal yang mendukungnya, seperti perbaikan gaji, pendidikan, pembagian tugas yang jelas, tanggungjawab, dan juga l’esprit de corps(semangat sejabatan).
historia