Pasukan khusus yang bertugas di bulan Agustus berlatih untuk menunaikan tugas mulia, yaitu untuk mengibarkan bendera pusaka merah putih. Baik level Kabupaten/Kota, Provinsi, maupun Nasional. Pasukan khusus itu Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka). Sesuai namanya, pasukan ini bertugas untuk mengibarkan Sang saka Merah-Putih pada peringatan kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus.
Pasukan dididik dan dilatih dengan proses karantina. Dan tentu nantinya akan memiliki output yang berbeda, terutama ketika kita bicara nasionalisme dan kebangsaan.
Sejarah mencatat, Pengibar Bendera Pusaka merah-putih pertama adalah bapak Lathief Hendradiningrat dan Suhud S. pada HUT RI ke 2 (17 Agustus 1946). Mereka berdua sebagai Pengerek dan Pengibar saat menaikkan sang saka merah putih.
Pada waktu itu, tujuan dari Soekarno menjadikan pemuda-pemudi Indonesia sebagai pengibar bendera merah putih adalah untuk menumbuhkan rasa persatuan dan nasionalisme dikalangan pemuda-pemudi. Mereka diharapkan bisa merasakan jerih payah para pejuang dahulu dalam meraih kemerdekaan. Saat merdeka pun, penaikan bendera merah putih pertama syarat akan ketegangan, karena pihak penjajah berjaga disekitar lapangan upacara. Formasi pun pada 2 tahun berikutnya bermakna Pancasila, 5 orang pemuda. Terdiri dari 3 orang puteri dan 2 orang putera.
Baru pada tahun 1967, ketika Bapak H. Mutahar diminta Presiden Soeharto untuk menyiapkan pelaksanaan pengibaran bendera pusaka pada HUT RI, beliau memperbarui formasi sebelumnya. Bapak Mutahar membagi formasi pada 3 kelompok, kelompok 17 sebagai pengiring, kelompok 8 sebagai kelompok inti dan kelompok 45 sebagai pengawal. Angka-angka itu melambangkan 17-8-45 atau tanggal kemerdekaan RI.
Pada kelompok 8, terdapat empat orang pengawal dari TNI atau Polri (biasanya tiap tahun bergantian). Pengawal ini mengawal pembawa baki. Pada tingkat kabupaten/kota, biasanya pasukan 45 juga datang dari kalangan pemuda-pemudi (kalangan pelajar SMA/sederajat). Namun, pada tingkat Provinsi dan Nasional, pasukan 45 terdiri dari Polri dan tiga matra TNI (AD,AL,AU).
Pada tahun 1967 sampai 1972, anggota yang terlibat dalam pengibaran bendera disebut Pasukan Penggerek Bendera Pusaka (Paseraka). Baru kemudian pada tanggal pada tahun 1973, Bapak Idil Sulaiman mengusulkan perubahan nama menjadi seperti sekarang ini, Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka).
Yang diajarkan dalam Paskibraka tidak semata tentang menaikkan dan menurunkan bendera, ataupun pelatihan baris berbaris (PBB). Namun, jauh melebihi semua ini. Mulai dari disiplin hingga nasionalis juga diajarkan dan dipraktekkan langsung. Alhasil, sebenarnya pemerintah dapat Mendulang Negarawan dari Paskibraka ini. Karena, output yang dihasilkan dari sini benar-benar berkualitas. Jiwa nasionalis dan Patriotismenya tak perlu diragukan lagi.
Setiap orang ingin menjadi Paskibraka, namun tidak semuanya bisa. Karena hanya putera-puteri yang terpilihlah yang bisa menjadi anggota Paskibraka. Mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah orang-orang terbaik yang terpilih untuk melaksanakan tugas mulia, mengibarkan sang saka Merah Putih. Bahkan Paskibraka juga disebut-sebut “pasukan yang dikawal pasukan”. TNI dan Polri merupakan pasukan yang mengawal Paskibraka untuk menjalankan tugasnya.
Keberadaan Paskibraka ini syarat akan nilai, misalnya nilai keberagaman dan toleransi. Seperti semboyan negara kita yang tertulis pada pita yang dicengkeram erat sang Garuda, Bhinneka Tunggal Ika. Karena, anggota Paskibraka itu berasal dari berbagai latar daerah yang berbeda-beda.
Pada tingkat Kabupaten/Kota, orang-orang yang terpilih berasal dari berbagai SMA atau sederat, atau lebih tepatnya beragam kecamatan yang ada didaerah itu. Pada tingkat Provinsi, mereka yang terpilih adalah perwakilan dari Kabupaten/Kota di Provinsi tersebut. Sampai pada tingkat Nasional, mereka yang terpilih adalah perwakilan dari tiap-tiap Provinsi yang ada di Indonesia.
Dengan latar berbagai daerah, mereka bersatu untuk menjalankan tugas dan kewajiban sebagai Paskibraka. Tidak ada perbedaan dan sifat kedaerahan (Primordial) yang membuat mereka terkotak-kotak berdasar daerah. Semuanya bersatu dibawah nama Paskibraka. Hal ini mencerminkan semboyan Indonesia yang multikultural, Bhinneka Tunggal Ika (Walaupun berbeda-beda, kita tetap satu jua). Mereka adalah putera-puteri Indonesia yang akan membawa negara ini menuju negara dengan toleransi tinggi atau Pluralis.
Nilai selanjutnya berupa kunci kesuksesan, yaitu disiplin. Salah satu yang membedakan Indonesia dengan Jepang adalah soal disiplin. Orang Jepang malu jika terlambat, dan Indonesia sebaliknya. Bangun pagi, senam pagi dan waktu mulai latihan diterapkan On Time. Jiwa-jiwa disiplin Angkatan bersenjata (TNI dan Polri) diterapkan, oleh karena itu pembina Paskibraka ada yang dari TNI dan Polri. Nilai Religius pun tak ketinggalan, bagi yang muslim itu salat berjamaah, dan bagi non muslim jika waktu ibadahnya tiba, diizinkan untuk pergi beribadah.
Suasana yang diciptakan syarat akan jiwa Nasionalis dan kekeluargaan. Karena, sistem pendekatannya menggunakan metode Keluarga Bahagia, dengan bentuk penerapan lingkungannya disebut Desa Bahagia. Jiwa demokrasi juga ada disini, karena ada satu putera dan satu putri yang dipilih sebagai pemimpin (kalau tingkat Kab/kota disebut bapak-ibu wali, tingkat Provinsi disebut bapak-ibu lurah).
Pemilihan dilakukan dengan demokratis, ada beberapa calon dan mereka membaca visi-misi. Yang mendapat suara terbanyak menjadi pemenang. Bapak lurah dan ibu lurah bertanggung jawab terhadap seluruh “warganya”, serta menjadi perpanjangan tangan pembina. Nilai tanggung jawab tercermin disini.
Diadakannya Paskibraka salah satunya untuk menumbuhkan jiwa pandu pemuda negeri ini. Bila ia pandu, ia menjadi pembuat karya, pelopor perjuangan, pemacu semangat, pertahanan negeri, pembentuk persaudaraan. Jiwa pandu tercermin dari bara api yang dibentuk selama karantina, dan semakin membara tatkala semua jiwa anggota Paskibraka bersatu. Seluruh jiwa bersatu menjadi Satu kesatuan, yaitu jiwa Korsa. Berani, kritis, kreatif, disiplin, berbudi luhur, kolektif, dan banyak lagi.
Mereka adalah generasi pelurus, bukan penerus. Mereka cinta akan tanah airnya, jiwa patriotisme TNI dan Polri mengalir didalamnya. Mereka tidak akan mau menggadaikan negerinya kepada asing demi kepentingan pribadi atau kelompok. Bak negarawan, mereka memikirkan bagaimana negaranya kelak, bukan bagaimana kekuasaannya kelak. Inilah generasi paripurna untuk mewujudkan Indonesia emas. Artinya, bibit-bibit yang telah dihasilkan dari Paskibraka , dapat dididik kembali dan digenjot untuk menjadi generasi para pelurus menuju Indonesia emas tahun berikutnya.
geotime
0 komentar:
Post a Comment