Sekitar akhir abad ke-19,seorang pelancong asal Prancis Chailley Bert, mencatat bahwa terdapat es dari ujung ke ujung Pulau Jawa hingga gunung-gunung dan desa. Namun penggunaan es sebagai teman minuman sudah menjadi umum di Hindia kala itu. Sekitar 1895, musafir Prancis Delmas, yang mampir di Batavia, mencicipi “segelas besar sidre-syampanye, minuman lezat, yang dibuat dengan buah-buahan negeri itu, es dan soda.”
Es merupakan lambang “kenyamanan” dan sudah semestinya di negeri tropis serta sebagai pengawet bagi makanan yang mudah rusak. Pada pertengahan abad ke-19, kapal-kapal yang datang dari Amerika Utara membawa berbalok-balok es ke berbagai pelabuhan besar di Nusantara.
Prosedur pembuatan amoniak, temuan Eropa, diimpor ke Jawa sekitar akhir tahun 1880 dan suksesnya yang cepat segera memutarbalikkan kondisi penyimpanan bahan cadangan.
Prinsip dasar produksi es balok adalah pembekuan air dengan memakai media larutan garam (brine) yang memiliki suhu mendekati titik beku larutannya. Proses pendinginan brinemenggunakan bantuan sirkulasi bahan pendingin (refrigerant) ammonia.
Dalam sepuluh tahun sejak dikenal prosedur pembuatan amoniak, pabrik es berdiri sangat pesat di kota-kota besar. Kebiasaan minum air dingan menyebar lebih luas lagi. Di Batavia misalnya, pabrik es berada di Molenvliet (kini Jl Gajah Mada dan Jl Hayam Wuruk) dan Petojo.
Awalnya perusahaan es milik bangsa Eropa namun dengan sangat cepat bangsa Cina pandai memanfaatkan prosedur baru itu. Salah satu pelopor dalam usaha es balok adalah Kwa Wan Hong, seorang pengusaha Tionghoa. Dia lahir pada 1861 di Semarang, Jawa Tengah. Ayahnya, yang lahir di Tiongkok, pernah menjadi sekretaris walikota. Dia mendapat pendidikan yang cukup baik. Mula-mula menekuni usaha kayu, lalu beralih ke kapur. Pada 1895 dia mendirikan pabrik es pertamanya yang memperoleh sukses besar di kota kelahirannya.
Lalu Hong mencoba membuka pabrik limun dan percetakan Hap Seng Kong Sie –tertua di Jawa Tengah– pada Agustus 1901. Pada 1902, dia juga menerbitkan Warna Warta, surat kabar melayu-Tionghoa pertama di Semarang dan berbagai buku cerita terjemahan dari bahasa Tionghoa, misalnya Syair Sindiran karya Tan Tjin Hwa. Ia terkenal sebagai raja es.
Hong mengembangkan usahanya dengan membangun tiga pabrik es di Semarang (1910), Tegal (1911), dan Pekalongan (1911). Karena menarik minat pembeli, dia membangun dua pabrik lagi di Surabaya pada 1924 dan 1926. Dua tahun kemudian, dia menetap di Batavia dan membangun pabrik es di Jalan Prinsenland (Mangga Besar) dan Rawa Bening di Meester Cornelis, Jatinegara. Pada 1930, dia mengakuisis pabrik es Soen Sing Hien di Sumedang Jawa Barat, dan mendirikan satu pabrik minyak kelapa di Kutoarjo.
Dari hasil usahanya, Hong kerap menyumbang dana untuk kegiatan Tiong Hoa Hwee Koan, organisasi yang dibentuk pada 1900 “untuk menjadi pusat bagi keseluruhan pergerakan (Tionghoa) untuk reformasi adat istiadat dan tradisi Tionghoa.”
Pada awal 1970-an, kendati penggunaan lemari es listrik maju dengan cepat, kebiasaan membeli es setiap hari pada orang Cina dan masyarakat luas umumnya masih terlihat hingga es terus berkembang hingga sekarang.
historia