Keinginan untuk merdeka rakyat Catalan (Catalonia) kembali menyeruak. Bahkan kini semakin menguat. Pada September ini Catalan akan menyelenggarakan pilkada, lebih sebagai referendum (tak resmi) untuk memerdekakan diri dari Spanyol bersatu.
Langkah politik untuk membentuk negara otonom sudah dilakukan sejak lama. Bahkan sejak Catalan ditaklukkan oleh Spanyol pada 1714. Perjuangan warga Catalan untuk kembali lepas dari cengkeraman Spanyol bahkan pernah memicu terjadinya perang saudara pada 1930.
Demokratisasi yang semaking menguat mendorong warga Catalan kian gencar menyerukan keinginannya. Referendum tak resmi pada 9 November 2014, sekitar 80 persen warga Catalan ingin berdaulat.
Dunia memandang situasi ini tak semata-mata dengan kaca mata politik. Meski dalam konteks Spanyol dan Catalan politik dan bola telah jadi satu sebagaimana Barcelona dan La Liga tak bisa dilepas dan pisah.
Barcelona salah satu klub terbesar di dunia sekaligus nama salah satu provinsi di Catalan selain Girona, Lleida dan Tarragona. Sebagaimana popularitasnya sebagai kota terbesar kedua di Spanyol bahkan menjadi salah satu daerah metropolitan di Eropa, Barcelona pun telah mendunia dengan segudang prestasi dan pesonanya. Namun kemerdekaan Catalan terancam menguburkan pesona dan daya magis tersebut.
Bila saja Catalan merdeka maka sudah dipastikan Barcelona terdepak dari La Liga. Nama besar kompetisi tertinggi di sepakbola Spanyol itu akan kehilangan kontestan yang telah menjadi salah satu ikon kompetisi dan 23 kali tampil sebagai yang terbaik.
Presiden Liga Spanyol Javier Tebas dan menteri olahraga negara Miguel Cardenal telah mengisyaratkan hal itu. Barcelona, juga klub Catalan lainnya seperti Espanyol tak ambil bagian di pentas La Liga.
Konsekuensinya, Tebas dan Cardenal memprediksi La Liga akan terpecah. Barca sendiri akan berhenti menjadi kekuatan utama dalam sepakbola Eropa baik dari segi pendapatan (pemasukan dari televisi menurun) maupun kualitas tim karena rivalitas melemah bahkan hilang sama sekali.
Namun bukan tidak mungkin Barcelona masih tetap bisa mengibarkan panji-panjinya. Namun riwayatnya akan seperti Ajax, Celtic atau Standard Liege.
FC Barcelona tidak akan mampu untuk melanjutkan bersaing di Liga Spanyol. Ini masuk akal untuk berpikir bahwa jika Catalonia merdeka, klub bisa meminta untuk didaftarkan oleh federasi Spanyol.
Aspirasi olahraga dari klub Catalan akan berbeda. Barca, misalnya, akan menjadi tim seperti Ajax, Celtic atau Standard Liege dan akan melakukan dengan baik untuk sampai ke perempat final Liga Champions.
Kehadiran Barcelona di pentas La Liga telah memberi warna tersendiri. Terutama dalam persaingannya dengan raksasa ibu kota Real Madrid. Pertemuan kedua tim besar ini menyertakan banyak hal. Tak hanya kompetisi antara dua raja. Tetapi juga prestise dan persaingan antar wilayah.
Laga El Clasico telah dipandang sebagai persaingan antara dua daerah saingan di Spanyol yakni Catalan dan Castile. Rivalitas dua wilayah ini selalu menimbulkan ketegangan budaya dan politik. Pernah ada titik kelam dalam lembaran sejarah Spanyol ketika warga kedua wilayah itu berperang, apa yang disebut sebagai perang saudara. Hingga kini warga Catalan akan selalu melihat Real Madrid sebagai cermin sentralisme dan dominasi Castile.
Tak heran saat kedua tim bertemu di lapangan hijau, serasa seperti ‘pertempuran’ antara dua wilayah, dan ‘peperangan’ antarmasyarakat kedua wilayah. Tensi tinggi pasti terjadi, belum lagi intrik dan kontroversi. Di tribun penonton garis batas terlihat jelas, mana suporter Madrid dan mana fans Barcelona. Penonton dunia disuguhkan koreografi memikat antar kedua kubu, selain persaingan para pemain di lapangan. El Clasico selalu menarik perhatian dunia, bahkan menjadi salah satu pertandingan dengan jumlah penonton terbanyak.
Di luar lapangan persaingan pun tak kalah hebat. Perpindahan Alfredo di Stefano dari Barcelona menuju Real Madrid menimbulkan kegemparan. Hingga kini jarang ditemukan pemain dari kedua klub saling bertukar tempat. Bursa transfer Spanyol seperti memiliki pengecualian di mana ada pintu tertutup bagi Barcelona dan Madrid untuk saling bertukar pemain.
Ketika Gerard Pique melancarkan kritik terkait pesta ulang tahun ke-30 megabintang Madrid Cristiano Ronaldo, secepat kilat ia mendapat reaksi keras dari fans Madrid. Saat membela timnas Spanyol sekalipun, Pique tetap dilihat sebagai pemain Barcelona, bahkan lebih dari itu seorang Catalan.
Entah apa yang terjadi jika Barcelona benar-benar terdepak dari La Liga. Tak hanya El Clasico yang hilang, rivalitas para pemain di kedua kubu pun setali tiga uang. Terlebih lagi antara Lionel Messi dan Ronaldo, dua pemain terbaik sejagad yang tak pernah berhenti berburu gelar dan mengukir rekor.
Kehadiran Barcelona membuat La Liga tak semata didominasi Real Madrid. Apa yang terjadi jika La Liga tanpa Barcelona? Tentu Madrid akan semakin menunjukkan kedigdayaannya. Satu-satunya lawan yang diperhitungkan hanyalah rival sekota, Atletico Madrid.
Hal serupa akan terjadi di Catalan. Sebagai satu-satunya saingan di La Liga, Espanyol bukanlah lawan yang sepadan. Madrid akan memonopoli La Liga dan Barcelona akan menjadi penguasa tunggal Catalan. Konstetasi bisa berubah jika muncul tim-tim lain yang siap belanja besar-besaran untuk membangun tim. Atau jika Barcelona disambut ke kompetisi lain, seperti Ligue 1 misalnya.
Lebih dari itu di level timnas bagaimana jadinya komposisi skuad? Bukan rahasia lagi persaingan wilayah sudah merasuk hingga ke level timnas. Selain Catalan, wilayah lainnya seperti Basque juga memiliki klub-klub lokal yang tak pernah absen mencetak pemain bintang bagi timnas La Furia Roja. Tak hanya duo Madrid, Barcelona, Atletico Bilbao, Osasuna dan Real Sociedad pun tak pernah absen mengirim pemain ke level timnas.
Publik tentu masih ingat peristiwa miris pada Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Semua pemain Spanyol yang berlaga sejak pertandingan pertama hingga semifinal tak satu pun yang menyanyikan lagu kebangsaan Spanyol La Marcha Real.
Bagaimana jadinya timnas Spanyol jika tanpa para pemain Catalan? Pemain sekelas Xavi Hernandez, Sergio Busquets, Cesc Fabregas, Jordi Alba, Gerard Pique, Kiko Casilla, Cristian Tello, Bojan Krkic, Gerard Deulofeu, Marc Muniesa, Andreu Fontas bahkan pelatih beken Pep Guardiola merupakan orang Catalan.
Barcelona tak hanya menjadi sebuah klub sepakbola tetapi juga medium pergerakan. Stadion Nou Camp telah menjadi panggung bagi para pendukung Catalan untuk menyuarakan sikap.
Saat laga kandang terjadi, stadion megah tersebut menjadi ruang aktualisasi kaum pro kemerdekaan. Spanduk Catalan is Not Spain,bahkan hingga bendera kemerdekaan Catalan dikibarkan. Setiap menit ke-17 dan detik ke-14 di setiap babak fans Barcelona akan meneriakan kata merdeka. Menit tersebut menjadi penanda tahun 1714 saat Catalonia ditaklukkan Spanyol.
Berbeda dengan Espanyol yang dikenal sedikit berpihak pada pemerintah pusat, Barcelona menyediakan ruang yang lebih bagi rakyat Catalan untuk bersikap. Pada masa kediktatoran Miguel Primo de Rivera (1923-1930) dan terutama Francisco Franco (1939-1975), para pendukung kemerdekaan dan penentang rezim berkuasa akan beramai-ramai bergabung dengan Barcelona sebagai cara aman untuk menggelorakan aspirasi. Saat itu Barcelona mendapat privilese lantaran kedekatan manajemen kluba dengan penguasa. Tak heran hingga kini Barcelona menjadi simbol pergerakan. Barcelona itu “lebih dari sebuah klub’ (Mes que un club) bagi rakyat Catalan.
Meski demikian seruan rakyat Catalan bertolak belakang dengan kehendak manajemen. Sebagian besar jajaran Blaugrana menentang kemerdekaan Catalan meski sang presiden Josep Maria Bartomeu telah menandatangani pakta untuk mendukung referendum.
Namun seruan kemerdekaan ini tampaknya akan terus bergelora. Tak kurang dari 1,4 juta fans Barcelona saat ini merupakan kaum pro kemerdekaan.
Secara legal hukum Konstitusi Spanyol tak membenarkan pemisahan karena akan terhalang oleh keinginan masyarakat Spanyol lainnya. Namun bukan tidak mungkin segala sesuatu bisa saja terjadi seperti telah terjadi di banyak negara di dunia, termasuk di tanah air Indonesia.
sumber : kompasiana
0 komentar:
Post a Comment