Thursday, December 21, 2017

Kisah Awal Film Dewasa Jepang



Film dewasa di Jepang berawal sejak Zaman Edo (1603-1886). Namun, bentuknya di masa itu masih lukisan-lukisan erotis dan seksual yang disebut dengan “Shunga” (Spring Pictures). Seiring berkembangnya teknologi, erotika pun berpindah medium.

Pada Juni 2016 lalu, industri film pornografi asal Jepang menyampaikan permohonan maaf secara resmi atas kasus pemaksaan terhadap artis untuk melakukan adegan-adegan seks di film-film mereka.

Seperti dilansir The Japan Times, Intelectual Property Promotion Assosiation (IPPA) mewakili industri film dewasa tersebut menyatakan akan "mendorong produsen untuk mengambil tindakan, untuk segera memperbaki serta memulihkan kondisi dari seluruh industri sektor tersebut. Kami juga menyesal akan kasus ini, kami mohon maaf.” 

Selain itu kepada The Los Angeles Times, Shihoko Fujiwara pendiri organisasi non-profit Lighthouse yang bergerak di bidang perdagangan manusia mengatakan bahwa tahun lalu 2015 dirinya telah menerima lebih dari 100 keluhan tentang paksaan dalam pembuatan film porno. Industri film dewasa, menurut Fujiwara, telah menggunakan taktik yang sama dalam perdagangan manusia. Keluhan tersebut menurutnya kurang lebih 10 persen berasal dari orang-orang muda.

Para korban tersebut awalnya disuruh untuk menandatangani kontrak fashion modelling. Ketika mereka muncul untuk pemotretan, mereka diberitahu bahwa itu syuting film porno. Banyak yang memohon untuk berhenti atau pulang, tetapi mereka diancam akan didenda jutaan yen atau hukuman penjara karena telah melanggar kontrak dan akhirnya mereka yang menyerah.

Di Jepang, Industri film dewasa dilegalkan atau diizinkan oleh pemerintah. Melalui aturan Law Regulating Adult Entertainment Business, pemerintah secara legal formal mengizinkan industri film dewasa di Jepang, asalkan tidak adanya paksaan terhadap para aktor. Tapi meski industri dewasa telah dilegalkan di Jepang, para produsen film dewasa tetap wajib menyensor alat vital dari laki-laki dan perempuan, yang diatur dalam NEVA (Nihon Ethics of Video Association).

Awal Film Dewasa di Jepang

Dalam tulisan “The History of the Japanese Adult Industry, and 'That Pool'”, Peter Payne mengatakan bahwa industri film dewasa di Jepang bukanlah hal baru karena telah dimulai sejak zaman Edo (1603-1886). Namun, bentuknya di masa itu masih lukisan-lukisan erotis dan seksual yang disebut dengan “Shunga” (Spring Pictures). Salah satu lukisan yang terkenal adalah "The Dream of Fisherman’s Wife” karya Hokusai. Lukisan itu juga kerap disebut sebagai “Naughty Tentacles”. 

Seiring berkembangnya teknologi khususnya dalam televisi, lukisan-lukisan erotis tersebut kemudian dialihkan ke video. Dalam tulisan “Chronology of Adult Video in Japan”, disebut pada 1960an muncul beberapa industri film dewasa seperti Daiei, Nikkatsu, Shochiku, Toei, dan Toho. 

Namun di masa itu, film terbitan produsen-produsen ini hanya berfokus pada cerita atau drama dengan tujuan untuk merangsang dan sedikit menunjukan ketelanjangan ataupun adegan seks, yang kemudian film dewasa tersebut dikenal oleh masyarakat Jepang dengan istilah “pink film”.

Kemudian, pada 1971 film-film impor dari Amerika mulai merajalela di Jepang. Karena takut kalah saingan dengan film buatan Amerika, Takashi Itamochi, Presiden Nikkatsu, studio film besar tertua di Jepang mengembangkan “pink film” sebagai salah satu upaya untuk menarik penonton. 

Alhasil pada November 1971, studio Nikkatsu merilis dua seri film dewasa dengan adegan seks lebih banyak dibandingkan dari sebelumnya, yaitu seri “Roman Porno” dan seri “Apartment Wife”. Kedua seri tersebut dianggap sebagai film porno pertama di Jepang karena lebih menayangkan adegan seks dan ketelanjangan dibanding film cerita atau drama pada umumnya.

Film yang dirilis oleh Nikkatsu pada era itu mampu menarik perhatian publik. Tercatat hampir 70 persen masyarakat menyukai seri Roman Porno, tulis revolvy.com. Keberhasilan dari studio film Nikkatsu kemudian diikuti oleh Shintoho Eiga dan Millio Film. Berawal dari inilah industri film porno mulai berkembang Jepang.

Selain itu, Peter Payne menulis bahwa masyarakat Jepang memiliki kalimat ajaib yang sering mereka gunakan ketika melihat atau menonton film dewasa. Kalimat tersebut berbunyi “Shikata ga nai” atau “Sho ga nai”, yang artinya adalah “tidak ada pilihan”. Maksudnya adalah kesukaan pada seks atau film porno merupakan hal yang normal dan merupakan bagian dari masyarakat sehingga tidak ada pilihan untuk tidak menonton.

Semakin lama, film dewasa Jepang terus berkembang sehingga ada yang ditambah penggunaan alat bantu seks yang dianggap sebagai kejahatan seksual. Setsu Kobayashi, profesor hukum dari Universitas Keio, pada 1972 bersama dengan para produser studio membentuk lembaga organisasi yang memonitor penayangan film dewasa tersebut. 

Lembaga tersebut dikenal dengan The Ethics of Adult Video (Seijin Bideo Jishu Kisei Rinri Shoudankai), yang kemudian berganti nama menjadi Nihon Ethics of Video Assosiation (NEVA) pada 1977. 

Fungsi dari lembaga ini sama seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yakni melakukan sensor terhadap alat vital dari para pemain film porno. Bila telah dilakukan sensor oleh NEVA, maka film itu dapat dikonsumsi oleh publik. Bila tidak, berarti ilegal.

Industri JAV Yakuza

Meskipun industri film dewasa di Jepang telah dilegalkan oleh pemerintah, tetap saja ada kelompok tertentu yang masih curang. Kelompok tersebut adalah kelompok Yakuza.

Amanda Jones dalam jurnalnya "Human Trafficking, The Japanese Commercial Industry and The Yakuza: Recomendaion for Japanese Goverment" mengatakan bahwa Yakuza merupakan gerbang penjaga industri seks komersial di Jepang. Hal itu dimulai sejak perang dunia kedua, di mana Yakuza berperan sebagai penyedia wanita penghibur bagi para tentara Jepang. Setelah perang dunia berakhir dan industri film dewasa mulai berkembang di Jepang, Yakuza melebarkan sayapnya ke dunia Industri film dewasa.

Selain itu, Richard Soesilo dalam bukunya Yakuza Indonesia, menulis bahwa peredaran industri film porno di Jepang memang dilegalkan, dengan syarat alat kelamin harus disensor. Produser film wajib melakukan sensor melalui NEVA sebelum akhirnya diedarkan ke masyarakat. Tapi Yakuza tidak mau menyensornya, dan inilah yang membedakan film porno legal dengan film porno Yakuza. 

Keuntungan yang didapat oleh Yakuza dari industri film dewasa dan prostitusi pada 2010 adalah sebesar 22 triliun yen atau sekitar $242 miliar, seperti ditulis The New York Times. 

Terlepas dari legal dan tidak legalnya industri film seks, yang jelas ia laku di mana-mana, termasuk di Indonesia. Seperti dilansir Deutsche Welle, di urutan pertama, nilai belanjanya ditempati oleh Cina dengan $73 miliar per tahun, sedangkan posisi kedua dan ketiga adalah Spanyol dan Jepang dengan masing-masing pengeluaran adalah $26,5 miliar dan $24 miliar per tahun. 

Indonesia masuk ke dalam 12 negara yang paling getol belanja seks dengan pengeluaran sebesar $2,25 miliar atau sekitar Rp29 triliun per tahun. Hampir sama dengan anggaran Kementerian Pertanian tahun ini. Luar biasa, bukan? 


sumber : tirto.id

  

0 komentar:

Post a Comment