Monday, February 5, 2018

Sejarah Keberadaan Bendungan Katulampa



Bendungan Katulampa terletak di Kelurahan Katulampa, Kota Bogor. Bendungan ini akan menjadi pusat perhatian masyarakat Jakarta terutama saat musim hujan tiba. Berikut adalah Sejarah Bendungan Katulampa. 

Dalam sejarahnya, bendungan Katulampa mulai beroperasi sejak 1911, namun perencanaan pembangunannya sudah dimulai sejak 1889 setelah banjir besar melanda sebagian wilayah Jakarta di tahun 1872. Bahkan konon banjir tersebut juga melanda kawasan elit Harmoni.

“Het was hoogst noodig dat deze permanente dam tot stand kwam, nu kan Weltevreden geregeld spuiwater krijgen en de kans op groote overstroomingen te Batavia is vrijwel uitgesloten. Adalah sangat perlu bendungan permanen ini direalisasikan, kini Weltevreden (Menteng) bisa secara teratur memperoleh pengairan dan peluang banjir besar di Batavia nyaris tertutup,” (Bataviaasch Nieuwsblad, 12 Oktober 1912).

Bendungan Katulampa dirancang oleh Ir. Hendrik van Breen, seorang arsitek yang juga pejabat Ingenieur der Gouvernements Waterleidingen (semacam PDAM di Batavia). Bendungan ini memiliki panjang total 74 m, dengan 5 inlaatsluis (pintu untuk mengalirkan arus ke kawasan di bawah), 3 spuisluis (pintu untuk menahan air, jika volume air berlebihan dan mengancam kawasan bawah), dengan lebar masing-masing pintu 4 m. Pembangunannya sendiri dikabarkan telah menelan biaya 80.000 Gulden yang dimulai 16 April 1911 dan diresmikan pada 11 Oktober oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda saat itu, Alexander Willem Frederick Idenburg. 

Saking pentingnya bendungan ini, peresmiannya pun dihadiri oleh seluruh pejabat di pemerintahan Hindia-Belanda termasuk Gubernur Jenderal AWF Idenburg, Kepala Insinyur Negara Roos, Ir Van Dissel, Ir Hendrik van Breen, pengawas Leuwiliang dan Bogor, anggota dewan Ebbink, admnistrator D.Veenstra (Ciloear), Mulder (Kedoeng Halang), Valete (Pondok Gedeh), Sol (Ciomas), Residen Batavia, Asisten Residen (setingkat wedana) Bogor, serta para patih dari Bogor, Batavia, dan Meester Cornelis (Jatinegara). Peresmian itu bahkan dimeriahkan dengan gamelan dan tari-tarian serta upacara selamatan dengan mengubur kepala kerbau. 

Selain untuk memantau debit air Ciliwung, bendungan ini juga difungsikan sebagai sarana irigrasi yang mengairi lahan persawahan seluas 5.000 hektar yang dahulu banyak terdapat di sisi kiri dan kanan bendungan. Memasuki musim penghujan, bendungan ini bisa menampung air hingga debit 630 ribu liter air per detiknya, dan pernah mencapai ketinggian hingga 250 cm atau 2,5 meter pada tahun 1996,  2002, 2007, dan 2010. 

Dari Katulampa, air dari Sungai Ciliwung akan dialirkan melalui pintu air ke Kali Baru Timur (Oosterslokkan), yaitu saluran irigasi yang dibangun pada abad ke-18 atas prakarsa Gubernur Jenderal Baron van Imhoff. Saluran air ini melintasi Weltevreden (Menteng). Pembuatan kanal ini sebelumnya ditujukan untuk lalu lintas pelayaran ke daerah pedalaman ( ke arah Bogor).  Ide tentang lalu lintas sungai ini tidak hanya diprakarsai oleh Gubernur Jenderal van Imhoff saja, tapi juga Gubernur Jenderal Daendels telah memiliki rencana untuk menggali kanal untuk pelayaran ke dalam. 

Dari timur Bogor, sungai buatan ini mengalir sampai ke Jakarta melalui sisi Jalan Raya Bogor yang berlanjut sampai Cimanggis, Depok, Cilangkap, sebelum akhirnya bermuara di daerah Kali Besar, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Aliran kanal ini di masa lalu pernah digunakan untuk mengairi lahan persawahan yang dahulu terbentang antara Bogor - Jakarta.

Sampai dengan awal tahun 1990, lahan persawahan yang terkena aliran irigasi ini di Bogor dan Jakarta masih cukup luas, yaitu sekitar 2.411 hektar. Namun untuk saat ini, lahan persawahan tersebut seolah tidak bersisa, sebagian berubah menjadi kawasan pemukiman. Kalau pun ada, lahannya hanya sekitar 72 hektar dan itu pun tersebar di sebagian wilayah Bogor dan Cibinong. Sejak itu, fungsi irigasi dari Bendungan Katulampa tersebut menjadi tidak maksimal lantaran banyak persawaha yang sudah menghilang di Bogor dan Jakarta. 

Bendungan Katulampa hanya berfungsi untuk memantau ketinggian air saja dan tidak bisa digunakan untuk mencegah atau mengurangi banjir yang biasa datang di musim penghujan. Bendungan ini memang tidak memiliki kemampuan ntuk menahan maupun membuka-tutup pintu air. 

Ketinggian air yang melewati bendungan Katulampa akan dicatat dan dikirim ke bendungan lain yang ada di kawasan Depok dan Pintu Air Manggarai. Dari catatan yang dikirimkan itu, petugas bisa memperkirakan waktu kedatangan banjir kiriman itu ke Jakarta sehingga masyarakat yang terdampak bisa melakukan antisipasi sedini mungkin. 


Aries Munandi