Awal kisah putra Papua Frans Kaisiepo yang nekat menerobos masuk ke dalam penjara kolonial di Hollandia (kini, Jayapura). Gurunya, Soegoro Atmoprasodjo, ditahan di sana. Di dekat pintu kawat berduri yang mengelilingi penjara, bertugas seorang penjaga. Di atas pundak kirinya tersandang sepucuk senapan lengkap dengan bayonet di ujungnya. Kaisiepo beruntung. Penjaga penjara itu ternyata sesama orang Biak.
Setelah melobi dalam bahasa Biak, Kaisiepo dengan mulus bertamu ke penjara. Guru dan murid bersua. Soegoro memberinya wejangan singkat namun begitu melekat dalam pikiran Kaisiepo.
Hari itu, yaitu 9 Juli 1946, kenang Kaisiepo dalam risalah berjudul “Irian Barat” yang terbit tahun 1961 dan termuat dalam koleksi ANRI khazanah arsip Marzuki Arifin No. 383. “Rahasia dan janji dipegang teguh. Pertemuan berlangsung selang sejam, tetapi cukup berkesan. Waktu bersalam-salaman tak disengaja keluarlah air mata beliau membasahi pipinya.”
Hari itu mereka membicarakan masa depan Irian sebagai bagian dari Republik Indonesia. Dua hari kemudian, Kaisiepo berangkat menuju Konferensi Malino di Sulawesi Selatan, yang digagas Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus van Mook untuk membentuk negara federal. Dia kemudian dikenal sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata Irian, yang hari ini dikenal sebagai provinsi Papua.
Berguru pada Soegoro
Di Pulau Biak, 10 Oktober 1921, Frans Kaisiepo lahir dari pasangan Albert Kaisiepo dan Alberthina Maker. Meski berasal dari pedalaman Biak, Kaisiepo dibesarkan dalam pendidikan kolonial. Hal ini dimungkinkan mengingat garis klan ayahnya yang seorang kepala suku Biak Numfor dan pandai besi.
Menurut Bernarda Materay, sejarawan kajian Papua, Frans Kaisiepo termasuk elite terdidik Papua angkatan pertama. Pada 1945, dia merupakan satu dari 150 putra Papua yang mengikuti Kursus Kilat Pamong Praja di Kota Nica (kini Kampung Harapan), Hollandia. Di sana, dia berjumpa dengan Soegoro Atmoprasodjo, pengajar dan direktur asrama.
Soegoro, kelahiran Yogyakarta, bekas aktivis Taman Siswa bentukan Ki Hadjar Dewantara, Partai Indonesia (Partindo), dan Digulis. Kendati bekerja untuk pemerintah Belanda, Soegoro menggunakan posisinya untuk menumbuhkan kesadaran ke-Indonesia-an di Papua. Terhadap anak didiknya, Soegoro memperkenalkan lagu Indonesia Raya dan meyakinkan mereka sebagai bagian dari Indonesia.
Perkenalan dengan Soegoro menggiring Kaisiepo ke politik. Dalam benaknya, masa depan Papua telah teretas. Sementara dijebloskan ke penjara Hollandia karena merancang pemberontakan yang gagal, Kaisiepo mulai terjun ke dalam gerakan nasionalis Papua. Posisinya berada di persimpangan antara Indonesia dan Belanda.
Lakon Nasionalis
Debut Kaisiepo sebagai tokoh politik bermula saat menjadi utusan dalam Konferensi Malino. Sebelum menuju Malino, Kaisiepo menyusup ke penjara Hollandia untuk bertemu Soegoro dan meminta petunjuk.
Pada 18 Juli 1946, Kaisiepo memainkan peranannya di Malino dengan penuh semangat. Sebagai delegasi dari Papua, Kaisiepo nyatanya tak selalu mewakili kepentingan Belanda. Dia mendukung wilayah Papua diintegrasikan ke dalam Negara Indonesia Timur (NIT). Namun Kaisiepo menolak apabila Papua berada di bawah karesidenan Maluku seraya menghendaki agar wilayah itu dipimpin orang-orang Papua sendiri.
Kaisiepo juga memperkenalkan kata Irian, yang berasal dari bahasa asli Biak. Irian berarti panas yang diserap dari tradisi pelaut Biak. Biasanya, pelaut Biak yang hendak menuju Pulau Papua selalu mengharapkan panas matahari untuk melenyapkan kabut yang menyelebungi daratan. “Berarti di sini bahwa Irian juga, yaitu cahaya yang mengusir kegelapan."
Dia mengusulkan agar nama Papua atau Nederlands Nieuw Guinea yang dipakai saat itu diganti dengan Irian. Sebab, kata Papua –sebutan dari pendatang asal Maluku, pua-puayang berarti keriting– mengandung kesan merendahkan orang-orang lokal. Kata Irian kemudian dipolitisasi kelompok nasionalis Indonesia di Papua sebagai akronim dari “Ikut Indonesia Anti Nederlands”.
Pada malam harinya, Kaisiepo berpidato selama sejam lima menit yang dilansir radio Makassar. Namun prasaran Kaisiepo di Malino tak mendapat dukungan dari Belanda. Wakil-wakil Indonesia juga menanggapinya dengan penolakan.
Bagi pemerintah Belanda, sikap Kaisiepo mengejutkan dan di luar dugaan. Residen Papua van Eechoud yang kesal menyatakan ucapan Kaisiepo tentang Irian tak lebih sebagai bentuk “chauvinisme Biak”.
Alhasil, pada konferensi-konferensi selanjutnya, tak ada lagi wakil dari Papua. Kepastian masa depan Papua dalam negara federal tak menemui titik terang. Keadaan ini terus berlanjut hingga Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar pada 1949.
Sementara itu, karena ulahnya di Malino, pemerintah Belanda menepikan Kaisiepo. Kaisiepo dibungkam dengan disekolahkan lagi selama lima tahun di Sekolah Pendidikan Pamong Praja atau Opleidingsschool voor Inheemsche Bestuursambtenaren (OSIBA). Antara 1954-1961, dia ditugaskan di distrik-distrik terpencil seperti di Ransiki, Manokwari, Ayamu-Taminabuan, Sorong, dan di Mimika, Fak-fak.
Di Pentas Merah Putih
Sewaktu menjabat kepala distrik Mimika pada 1961, Frans Kaisiepo mendirikan partai politik Irian Sebagian Indonesia (ISI). Tujuan partai ini menuntut penyatuan Papua ke dalam Republik Indonesia. Pada tahun yang sama, Trikora dikumandangkan Presiden Sukarno. Melalui ISI, Kaisiepo berperan dalam membantu pendaratan sukarelawan Indonesia yang diterjunkan ke Mimika.
Sejak pengakuan kedaulatan, wilayah Papua disengketakan antara Indonesia dan Belanda. Belanda menangguhkan penyerahan wilayah ini karena kepentingan politik dan ekonomi. Indonesia mendapat pengakuan atas wilayah Papua dalam Perjanjian New York, 15 Agustus 1962.
Pada 1964, Kaisiepo ditunjuk sebagai gubernur menggantikan Eliezer Jan Bonay –sosok antikolonial tapi juga menentang kesewenang-wenangan pemerintah Indonesia atas rakyat Papua sehingga harus kehilangan jabatannya, bahkan ditahan, dan setelah bebas pergi ke Belanda untuk mendukung Organisasi Papua Merdeka sampai wafat pada 1989.
Semasa kepemimpinannya, Kaisiepo mengemban misi khusus: memenangkan Indonesia dalam penentuan pendapat rakyat (Pepera) –yang ditetapkan dalam Perjanjian New York– tahun 1969. Dia juga ditunjuk sebagai ketua Penggerak Musyawarah Besar Rakyat Irian Barat yang bertujuan mempersiapkan langkah penyatuan Irian Barat menjelang Pepera.
Secara maraton, Kaisiepo melancarkan kampanye ke seluruh kabupaten: Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fak-fak, Sorong, Manokwari, Teluk Cendrawasih, dan Jayapura. Setiap kabupaten diwakili beberapa wakil dalam Dewan Musyawarah Pepera. Kaisiepo terus meyakinkan anggota dewan agar memilih Indonesia, alih-alih memerdekakan diri.
Dalam praktiknya, terendus banyak kecurangan. Campur tangan TNI dalam “operasi wibawa” yang digelar Kodam Cendrawasih turut menodai pelaksanaan Pepera dengan rupa-rupa tindakan pemaksaan. Kaisiepo agaknya menutup mata dengan tingkah angkuh pegawai-pegawai Jawa yang didatangkan ke Papua selama dan pasca-integrasi.
Pepera dimenangkan pemerintah Indonesia. Pada 1969, Frans Kaisiepo menjadi delegasi Indonesia yang turut menyaksikan ratifikasi hasil Pepera di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Namun, di sana dia “dijaga ketat” dan tak diberikan kesempatan untuk bersuara.
Kursi nomor satu di provinsi paling timur Indonesia itu didudukinya hingga 1973. Menurut Drooglever, semasa kepemimpinannya, pertumbuhan penduduk dan tingkat pendidikan rakyat Papua meningkat dibandingkan era kolonial. “Walaupun begitu, mengintegrasikan orang-orang Papua ke dalam negara Indonesia tetap menjadi masalah,” tulis Drooglever.
Selepas pensiun, Kaisiepo ditarik pemerintah pusat ke Jakarta. Dia diperbantukan sebagai pegawai tinggi Kementrian Dalam Negeri. Pada saat bersamaan, dia diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sampai akhir hayatnya tahun 1979. Dia dimakamkan di tanah kelahirannya, Biak, di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih.
Menurut Rex Rumakiek, seperti banyak tokoh politik Papua, kematian Kaisiepo terselubung misteri. Dia meninggal setelah berobat di rumah sakit dan baru diketahui keluarganya beberapa hari kemudian. Diagnosis medis menyatakan Kaisepo mengalami serangan jantung.
Kaisiepo berencana mengungkap kebenaran tentang adanya penipuan dalam pelaksanaan Pepera yang menjadi keinginan sejati rakyat Papua,” tulis Rex dalam “The Colonial Legacy and West Papuan Nationalism” tesis Studi Internasional di Universitas Sydney yang dikutip atas wawancara dengan Dirk Samuel Ayamiseba, ketua DPRD pertama Irian Barat.
Atas jasanya, pemerintah Indonesia menyematkan status pahlawan nasional pada 1993. Namanya juga diabadikan menjadi salah satu kapal perang TNI AL, KRI Frans Kaisiepo (bernomor seri 368) dan bandara udara internasional di Pulau Biak. Terakhir, potretnya menandai lembaran uang rupiah emisi 2016 bernilai 10.000.
Miskinnya literatur sejarah mengenai tokoh Papua membuat Frans Kaisiepo tak cukup membumi di mata orang Papua. Namanya dikenang sebagai pemimpin Papua di awal pemerintahan Indonesia.
Dalam sejarah Papua, Frans Kaisiepo memainkan lakon yang berbeda. Dia justru dianggap lebih mewakili kepahlawanan untuk Indonesia atau dia menjadi pahlawan versi Indonesia.
Sebagai sejarah, Frans Kaisiepo betul-betul masa lalu. Foto-fotonya sebagai pahlawan nasional yang dipajang di kelas-kelas tidak terlalu berguna.
Sebagai tokoh, aktor penokohannya lebih didominasi pemerintah RI yang mencari legitimasi historis dari antara orang Papua terkait dengan aneksasi Papua ke dalam wilayah RI.
sumber : historia magazine
0 komentar:
Post a Comment