Tuesday, November 28, 2017

RIWAYAT RAMBUT GIMBAL & AWAL KEPOPULERANNYA



Rambut gimbal pada awalnya identik dengan spiritualitas lalu jadi simbol pemberontakan dan antikemapanan, sebelum luntur jadi sekadar tren fashion. Selain musik yang paling melekat dari sosok Bob Marley dan Mbah Surip adalah rambut gimbal. Ya, rambut gimbal identik dengan kedua musisi reggae itu. Padahal lilitan rambut gimbal merentang jauh ke belakang.

Membiarkan rambut tumbuh memanjang tanpa perawatan hingga saling membelit dan membentuk gimbal merupakan praktik spiritual sejak ribuan abad lalu. Ia juga dihubungkan dengan semua agama besar dan agama lokal di dunia. Konon, sosok Tuntankhamen, Firaun dari Mesir Kuno, memelihara rambut gimbal.

Dewa Shiwa dalam agama Hindu juga berambut gimbal. Sikh, Yahudi ortodoks, biarawan Buddha, darwis atau sufi dalam Islam diidentifikasi dengan rambut gimbal. Kaum Nazaret di Barat serta para penganut Yogi, Gyani, dan Tapsvi di India bahkan menjadikannya sebagai salah satu dari jalan spiritual untuk membebaskan diri dari alam duniawi yang fana.

Rambut yang melilit dan mengunci dipercaya dapat menahan energi tubuh yang keluar melalui ubun-ubun kepala dan rambut. Ingat kisah Samson si perkasa? Kekuatannya seketika menghilang ketika Delillah memotong tujuh helai rambutnya.

Di Indonesia, di kawasan dataran tinggi Dieng, anak-anak yang terlahir dengan rambut gimbal dipercaya sebagai karunia atau anugerah dari para dewa. Ketika beranjak remaja, rambut gimbal mereka dipotong lewat upacara adat. Rambut mereka selanjutnya disucikan dengan air dari sumur Maerokoco di kompleks Candi Dieng, yang dipercaya akan mengembalikan rambut gimbal kepada pemiliknya, Nyai Ratu Kidul (penguasa Laut Selatan).

Rambut gimbal menjadi simbol politis ketika pada 1914 Marcus Garvey, yang kelak jadi pahlawan nasional pertama Jamaika, mendirikan The Universal Negro Improvement Association (UNIA). Dia mempelopori gagasan kebanggaan kulit hitam dan memperjuangkan gerakan “Back-to-Africa”. Dia juga memperkenalkan gerakan religius dan penyadaran identitas kulit hitam yang mengadopsi aspek spritualitas dalam Alkitab tapi menganggap Ras Tafari Makonnen –Kaisar Haile Selassie, raja dari Ethiopia pada 1930– sebagai mesiah.

Dari sinilah kelak gerakan ini lebih dikenal dengan Rastafaria. Mereka menyebut diri sebagai kaum “dread” untuk menyatakan bahwa mereka memiliki rasa gentar dan hormat (dread) pada Tuhan. Gerakan inilah yang mempopulerkan istilah dreadlocksuntuk tatanan rambut gimbal.

Pola hidup vegetarian dan membiarkan rambut tumbuh secara alami, tanpa dipotong, disisir atau ditata merupakan manifestasi dari keyakinan dalam menjalani kehidupan sealami mungkin. Gagasan alami itu juga terkait dengan penolakan terhadap definisi keindahan ala masyarakat kulit putih bahwa rambut gimbal kotor, berantakan, najis. Rambut gimbal pun tak hanya cara melihat keindahan melalui mata kulit hitam, tapi tentang menjadi lelaki atau perempuan Afrika yang penuh kebanggaan.

Rambut gimbal menjadi ekspresi pemberontakan atau reaksi terhadap masyarakat kolonial di Jamaika ketika pada 1930-an Jamaika dilanda gejolak sosial dan politik. Pengikut Rastafaria yang tak puas dengan pemerintah melakukan perlawanan simbolik dengan tinggal di dalam tenda-tenda dan memelihara rambut gimbal.

Rambut gimbal Rasta berevolusi selama 20 tahun sebagai gerakan Rastafaria, menurut Profesor Horace Campbell dari Syracuse University dan penulis Rasta And Resistance, sebagaimana dikutip The Guardian, 23 Agustus 2003. "Rastafaria hidup dalam konteks kolonial [di Jamaika] yang ingin menggambarkan diri mereka berbeda dari orang-orang Eropa. Jadi mereka mengambil bentuk fisik yang mewakili identitas mereka dengan Afrika."

Popularitas rambut gimbal

Popularitas rambut gimbal mencuat pada 1970-an ketika Robert Nesta Marley, atau lebih dikenal dengan Bob Marley, meluncurkan album Catch A Fire. Rastafaria menjadi gerakan dunia. Rambut gimbal juga menjadi tren dan ikon musik reggae. Bob Marley ditransendensikan sebagai karakteristik radikal dari Rastafaria dan merangkul semua kebudayaan dan menjadi juru bicara gerakan itu.

Menurut Guardian rambut gimbal menghadapi tantangan, sejumlah sekolah menolak untuk mengajar anak-anak berambut gimbal. Para Rasta di penjara harus mencukur rambut. Mereka juga sulit mendapat pekerjaan.

Ketika penata rambut Inggris Simon Forbes menangkap tren rambut gimbal dengan membuka sebuah salon bernama Antenna di Kensington, London, resistensi masih terjadi, terutama rambut gimbal putih. Dia juga masih dituduh rekan-rekannya, kulit hitam maupun putih, merusak budaya kulit hitam.

Titik balik Rasta muncul bersamaan dengan sound system yang disebut Soul II Soul yang kerap dimainkan di acara pesta dan klub remaja di London. Mereka menjadi dikenal sebagai “Funki Dred”, merujuk rambut gimbal mereka yang rapi. Sejumlah artis, musisi rock, dan selebritas kemudian mulai bergaya ala Bob Marley seperti grup musik KoRn, Mike Bordi (drummer Faith No More), atau Jennifer Anniston dan Christina Aguilera. Di Indonesia juga banyak artis berambut gimbal seperti Mbah Surip, Tony Q, dan Steven and The Coconut Treaz.

Rambut gimbal sudah menjadi bagian dari fashion, yang menanggalkan simbol-simbol spiritualitas dan antikemapanan. Desainer kenamaan John Galliano dari Christian Dior mengadopsinya dalam gaya rambut dan koleksi pakaian, sepatu, dan aksesoris dengan nama Rasta. Salon-salon untuk rambut gimbal mulai tersedia.

Rambut gimbal kini bisa dimiliki setiap orang, pemiliknya bukan lagi pemrotes tapi juga profesional. Ia tak lagi menjadi sebuah sikap, mentalitas, dan cara hidup.